Pendidikan adalah Harta Paling Berharga

Kami percaya, maju tidaknya suatu bangsa bergantung penuh pada kualitas pendidikan di negara tersebut.

Sebarkan Pencerahan dan Melawan HOAX

Kami fokus membahas pendidikan, sains dan matemattika untuk #SebarkanPencerahan dan memberantas HOAX yang berbau sains.

Kunci Jawaban

Kami menyajikan kunci jawaban berkualitas, bukan sekedar jawaban, tapi kami juga menunjukkan cara dan mengajarkan pola berpikir.

Video Pembelajaran dan Permainan Sains

Kami selalu berusaha mengajarkan sains dan matematika dengan cara yang membahagiakan.

Ikuti Kami dan Mari Bekerjasama

Ikuti kami di berbagai ragam media sosial untuk mendapatkan pencerahan dan mari bekerjasama memajukkan pendidikan di Indonesia

Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Friday, 22 December 2017

[Pendidikan] Kita semua pada akhirnya sepakat, jika pendidikan itu membahagiakan

Semua orang yang sudah selesai dengan pendidikan formalnya (sekolah) pasti pernah berpikiran atau mengalami kejadian seperti ini:
- Buat apa belajar?
- Gurunya kok enggak adil dalam memberi nilai?
- Belajarnya membosankan!
- PR nya kebanyakan! Orang gila aja bisa jadi waras kalau dikasih PR sebanyak ini!
- Gurunya galak!
- Gurunya jarang masuk kelas, sekalinya masuk langsung ulangan

Ya, intinya kita tidak pernah mengerti untuk apa kita dijejali banyak ilmu yang kita tidak tahu untuk apa dan kegunaannya apa?

Tapi pada akhirnya, setelah kamu dewasa nanti, setelah kamu selesai dengan pendidikan formalmu, kamu akan menyadari pentingnya pendidikan.

Lalu sambil tersenyum, kita semua pada akhirnya akan sepakat, jika pendidikan itu membahagiakan.

#Pendidikan
#GuruGalak
#BanyakPR
#PendidikanItuMembahagiakan
#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre
#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre
#PembelajaranMenyenangkan
#MuridBosan


Jangan lupa ikuti kami:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Friday, 8 December 2017

[Pendidikan] "Ketika proses pembelajaran tidak lagi menyenangkan, maka jangan heran kalau murid menjadi bosan, lalu tidak memperhatikan."

"Ketika proses pembelajaran tidak lagi menyenangkan, maka jangan heran kalau murid menjadi bosan, lalu tidak memperhatikan."

Apakah kamu setuju dengan pernyataan di atas?
Jangan terus selalu menyalahkan siswa, ketika kami tidak memperhatikan.

#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre
#PembelajaranMenyenangkan
#MuridBosan


Jangan lupa ikuti kami:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Monday, 12 June 2017

[Pendidikan] Mereka pikir dengan siswa melingkari jawaban di LJK bisa menentukan kesuksesan!

Mereka pikir dengan siswa melingkari jawaban di LJK bisa menentukan kesuksesan!

Sudahlah jangan bercanda, kebijakan pendidikan kita dibuat oleh "mereka" yang bahkan pernah belum sekalipun mengajar secara resmi di sekolahan! Lalu tahu apa?

Jika di satu kelas ada 40 siswa, maka ada 40 anak dengaan kemampuan berbeda, keinginan berbeda, bakat berbeda, dan minat yang berbeda. Lalu mengapa mereka harus dituntut untuk mencapai standar nilai yang sama di semua mata pelajaran melalui tes yang sama?

Ini malpraktik pendidikan kawan!
Ini kejahataan terbesar dalam dunia pendidikan kawan!

#UKK
#NilaiRaport
#Kesuksesan
#MalpraktikPendidikan
#KejahatanTerbesar
#Quote
#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre


Jangan lupa ikuti kami:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Friday, 2 June 2017

[Pendidikan] Kebiasaan Menghapal Tidak Menambah Kecerdasan

Sains itu bukan pelajaran sastra. Lalu untuk apa menghapal banyak-banyak?

Ketahuilah:
Kebiasan menghapal itu tidak menambah kecerdasan, malah membuat murid-murid menjadi bodoh! Manusia bukanlah mesin, sesuatu yang bekerja taktis dan monoton. Manusia itu mahluk kreatif, dan menghapal merupakan jalan yang mengantarkan manusia menjadi mesin.

Catatan: Hanya berlaku untuk sains, tidak untuk digeneralisir!

#Menghapal
#Kecerdasan
#Bodoh
#Quote
#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre


Jangan lupa ikuti kami:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Tuesday, 16 May 2017

[Pendidikan] Teori Situasi Didaktis (Theory of Didactical Situation)

Oleh: Siti Maryam Rohimah, M.Pd.
*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.

Theory of Didactical Situation (TDS) dicetuskan oleh Brousseau pada tahun 1986 dan dikembangkan oleh beberapa peneliti pada tahun 1970-an (Artigue, 1994, hlm. 27). TDS adalah bagian dasar dalam pendekatan konstuktivisme, yang pada prinsipnya bahwa pengetahuan dan perilaku siswa hanya dapat dipahami jika perilaku tersebut berkaitan erat dengan situasi dimana ia diamati dan potensi kognitifnya harus dapat dicirikan oleh realitias yang diamati (Artigue, 1994, hlm. 29). Didaktis matematika terintegrasi dalam TDS yang terinspirasi dari teori permainan matematika, untuk menyelidiki dengan cara ilmiah, masalah yang berhubungan dengan pembelajaran matematika dan cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika (Radford, 2008, hlm. 5).

Menurut Brousseau, istilah “situasi” digunakan untuk menyebut lingkungan siswa yang ditangani oleh guru sebagai alat dalam proses pembelajaran. Kemudian istilah situasi mengalami perluasan makna meliputi guru itu sendiri dan sistem pendidikannya (Radford, 2008, hlm. 5). TDS digunakan dalam situasi didaktis yang dirancang dan digunakan dalam proses belajar mengajar. Dalam situasi didaktis siswa membangun pengetahuannya sendiri, bukan karena ia diajarkan tetapi karena logika yang ia temukan sendiri melalui situasi baru yang mendorongnya kepada suatu pemahaman.

Seperti teori lainnya, TDS berlandaskan pada seperangkat prinsip, diantaranya yang bersifat epistemologi seperti mengenai hasil pengetahuan sebagai solusi optimal untuk situasi atau masalah tertentu dan pembelajaran adalah salah satu bentuk adaptasi kognitif sesuai dengan teori kognitif Piaget (Radford, 2008, hlm. 6). Prinsip-prinsip tersebut menjelaskan peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Pada TDS, peran penting dari seorang guru bukan untuk menunjukkan kepada siswa bagaimana caranya untuk memecahkan masalah, melainkan membiarkan siswa menangani masalah mereka sendiri, untuk memecahkan masalah matematika tidak hanya menerima (masalah), belajar, dan mengerjakan (masalah itu) dengan benar, sesuai dengan kaidah matematika (Brousseau, 2002, hlm. 15). Seperti kontruktivisme, TDS menentang pembelajaran langsung. Peran guru adalah untuk lebih mengetahui masalah atau situasi yang akan diberikan kepada siswa dan memancing pembelajaran yang diharapkan. 

Didaktis adalah sesuatu yang menjadi penekanan dalam pembelajaran sejak tahap perencanaan pembelajaran. Analisis didaktis sebelum pembelajaran, difokuskan pada hubungan tiga serangkai antara guru, siswa, dan materi sehingga dapat menjadi arahan dalam pelaksanaan pembelajaran. Hasil analisis didaktis digunakan untuk proses pembuatan rancangan atau desain. Menurut teori Brousseu, tindakan didaktis seorang guru yang dilakukan dalam proses pembelajaran akan menciptakan sebuah situasi yang dapat menjadi titik awal bagi terjadinya proses belajar (Suryadi, 2010, hlm. 7). Namun situasi tersebut tidak menjamin tercipta proses belajar, sehingga guru harus mengkondisikan situasi ini misalnya dengan teknik scaffolding yang dapat memunculkan tanggapan siswa sehingga terjadi situasi yang baru. Situasi yang baru ini biasa tunggal atau beragam bergantung pada setting (milieu) aktivitas belajar yang dirancang guru. 

Setiap pengetahuan yang ditanamkan pada siswa harus berasal dari adaptasi siswa tersebut terhadap situasi tertentu (Brousseau, 2002, hlm. 23). Pada tahap adaptasi tersebut terdapat adidactical situation, yaitu situasi dimana siswa belajar sendiri tanpa intervensi guru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Selain itu, siswa harus dapat beradaptasi dengan lingkungan belajar, dengan teman sekelas, dan dengan setting (milieu) aktivitas belajar yang dirancang guru. Selanjutnya setelah siswa mampu beradaptasi, terjadi situasi yang dinamakan akulturasi. Pada tahap akulturasi, siswa memasuki tahap berpikir tingkat tinggi sehingga memerlukan intervensi guru yang terstruktur yang dinamakan dengan didactical situation. Pada situasi ini muncul didactical contract yang memberikan konstribusi terhadap aturan-aturan untuk mendorong siswa lebih mandiri. 

Perrin-Glorian (dalam Radford, 2008, hlm 8) menggambarkan kompleksitas situasi didaktis sebagai berikut:


Gambar 1. Diagram Empat Kutub dari Komponen Dasar Situasi Didaktis

Selain situasi didaktis, hubungan antara guru dan siswa juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada proses pembelajaran yang dinamakan situasi pedagogis (Suryadi, 2010, hlm. 8). Terdapat dua aspek dasar dalam pembelajaran matematika, yaitu hubungan didaktis (HD) dan hubungan pedagogis (HP). HD yaitu hubungan antara siswa dengan materi dan HP yaitu hubungan siswa dengan guru. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam segitiga didaktis yang dikembangkan oleh Kansanen (Suryadi, 2010, hlm. 8) sebagai berikut:


Gambar 2. Segitiga Didaktis Kansanen

Ilustrasi segitiga didaktis Kansanen tersebut menurut Suryadi (2010, hlm. 8), belum memuat hubungan guru-materi dalam konteks pembelajaran disebabkan hubungan didaktis dan pedagogis tidak bisa dipandang secara parsial, tetapi perlu dipahami secara utuh karena pada kenyataannya kedua hubungan tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Dalam hal ini,  pada saat guru merancang sebuah situasi didaktis, perlu memikirkan prediksi respons siswa atas situasi tersebut serta antisipasinya sehingga tercipta situasi didaktis baru. Antisipasi tersebut tidak hanya menyangkut hubungan siswa-materi, tetapi juga hubungan guru-siswa, baik secara individu maupun kelompok atau kelas. Atas dasar hal tersebut, pada segitiga didaktis Kansanen perlu ditambahkan suatu hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya bisa disebut sebagai Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) sebagaimana diilustrasikan pada gambar segitiga didaktis Kansanen (Suryadi, 2010, hlm. 8) yang dimodifikasi berikut ini.


Gambar 3. Segitiga Didaktis yang Dimodifikasi

Segitiga didaktis tersebut menunjukkan bahwa guru berperan untuk menciptakan situasi didaktis (didactical situation), sehingga terjadi proses belajar pada setiap siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang guru harus benar-benar menguasai materi ajar dan memiliki pengetahuan lain yang terkait dengan siswa, serta mampu menciptakan situasi didaktis untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Kemampuan yang perlu dimiliki guru tersebut selanjutnya akan disebut sebagai metapedadidaktik.

Menurut Suryadi (2010, hlm. 12), metapedadidaktik adalah kemampuan guru untuk: 
1. memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi, yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh;
2. mengembangkan tindakan sehingga tercipta, situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai kebutuhan;
3. mengidentifikasi serta menganalisis respons siswa atau mahasiswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan;
4. melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respons siswa atau mahasiswa menuju pencapaian target pembelajaran.

Metapedadidaktik (Suryadi, 2010, hlm. 12) terdiri dari tiga komponen, yaitu kesatuan, fleksibilitas, dan koherensi. Pertama adalah komponen kesatuan berkenaan dengan kemampuan guru untuk memandang hubungan didaktis dan pedagogis sebagai sesuatu yang utuh dan saling berkaitan erat. Kedua adalah fleksibilitas, yang berarti bahwa antisipasi yang sudah disiapkan oleh guru disesuaikan dengan didaktis dan pedagogis. Ketiga adalah koherensi, yaitu adanya ikatan dari semua situasi didaktis yang diciptakan guru sehingga perubahan situasi selama proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan mengarah pada pencapaian tujuan.

Ilustrasi metapedadidaktik yang digambarkan sebagai sebuah limas dengan posisi guru berada di puncak, karena memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodifikasi (Suryadi, D., & Turmudi, hlm. 8) sebagai berikut:


Gambar 4. Metapedadidaktik dilihat dari ADP, HD, dan HP

Toom (Suryadi, 2010) menjelaskan bahwa proses berpikir didaktis dan pedagogis dapat terjadi dalam tiga peristiwa, yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran, dan setelah pembelajaran. Sebuah pengetahuan yang berharga sebagai bahan refleksi untuk perbaikan kualitas pembelajaran berikutnya yang disebut dengan tacit pedagogical knowledge. Jika sebelum pembelajaran (antisipasi didaktis dan pedagogis) seorang guru mampu mengidentifikasi, menganalisis, serta mengaitkan proses berpikir, pada saat pembelajaran memperoleh tacit knowledge, dan setelah pembelajaran melakukan refleksi, hal tersebut akan menjadi suatu strategi yang baik untuk melakukan pengembangan diri, sehingga kualitas pembelajaran dari waktu ke waktu senantiasa dapat ditingkatkan.

Efektivitas dari situasi didaktis adalah siswa memiliki tanggung jawab yang diberikan guru untuk memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalahnya, siswa diberi kebebasan membangun pengetahuan mereka sendiri. Brousseau (2002, hlm. 8) mengidentifikasi tiga jenis situasi yaitu aksi, formulasi dan validasi.

1. Aksi
Gambar 5. Situasi pada tahap aksi

Pada situasi aksi, siswa mengembangkan strategi sendiri untuk menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan guru. Siswa mulai membuat keputusan untuk menentukan bagaimana proses penyelesaian dan strategi yang dipakai untuk memecahkan masalah. Interaksi antara murid dan lingkuangannya (siswa lain, konteks masalah, guru) berguna untuk membuat beberapa strategi pertama yang disebut “dialectic of action”. Pada tahap ini, siswa membangun model dengan seperangkat aturan dan hubungan untuk mengambil suatu keputusan baru tanpa disadari atau perlu diungkapkan secara eksplisit (Manno, 2006, hlm 25).

2. Formulasi
Gambar 6. Situasi pada tahap formulasi

Tahap ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan model sendiri, secara implisit untuk mengungkapkan strategi dengan kata-kata yang dapat dipahami oleh siswa lain, membahas, dan beragumen yang membuat siswa lain menerima penjelasannya. Komunikasi dua arah antarsiswa membawa mereka ke suatu strategi (Manno, 2006, hlm. 25). 

3. Validasi
Pada tahap ini guru menuntun siswa pada situasi didaktis melalui suatu proses untuk memastikan bahwa mereka menggunakan strategi yang tepat. Dengan cara ini kesalahan merupakan titik awal dalam proses mengonstruksi pengetahuan. Pada bagian ini, guru dapat mempengaruhi siswa, karena siswa memerlukan penyelesaian masalah yang benar dan penjelasan tentang teori atau arti lain dari strategi yang telah mereka gunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut (Manno, 2006, hlm. 25). 

4. Institusionalisasi  
Institusionalisasi pada dasarnya adalah proses yang memungkinkan siswa mengubah pengetahuan mereka sebelumnya menjadi pengetahuan baru melalui penguatan oleh guru yang memberi mereka nilai kebenaran dan memungkinkan untuk menggunakan pengetahuan baru yang diperoleh untuk memecahkan masalah.

DAFTAR PUSTAKA
Artigue, M. (1994). Didactical Engineering as a Framework for the Conception of Teaching Products. R. Biehler, R. W. Scholtz, R. Sträßer, & B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp. 27–39). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.

Brouseau, G. (2002). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Manno, G. (2006). Embodiment and A-Didactical Situation in The Teaching-Learning of The Perpendicular Straigth Lines Concept. Doctoral Thesis: Department of Didactic Mathematics Faculty of Mathematics and Physics Comenius University Bratislava.

Radford, L. (2008). Theories in Mathematics Education: A Brief Inquiry into their Conceptual Differences. Working Paper. Prepared for the ICMI Survey Team 7. The Nation an Role of Theory in Mathematics Education Research.

Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNY: Tidak diterbitkan.

Suryadi, D., & Turmudi. (2011). Kesetaraan Didactical Design Research (DDR) dengan Matematika Realistik dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika. Makalah pada Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS.
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

[Pendidikan] Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research)

Oleh: Siti Maryam Rohimah, M.Pd.
*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.

Desain didaktis merupakan desain bahan ajar matematika yang memperhatikan respons siswa dalam setiap learning trajectory yang beragam dari setiap siswa. Sebelum proses pembelajaran, biasanya guru membuat rancangan pembelajaran agar urutan aktivitas dan situasi didaktis dapat diupayakan sesuai dengan yang telah direncanakan. Dalam mengembangkan desain didaktis, aktivitas guru dirancang tidak hanya untuk berfokus kepada siswa maupun materi pembelajaran tetapi pada hubungan antara siswa dan materi pembelajaran. Setelah pembelajaran, guru melakukan refleksi terhadap respons siswa yang telah diprediksi dengan respons siswa yang muncul pada saat pembelajaran dilaksanakan. Penelitian desain didaktis atau Didactical Design terdiri atas tiga tahapan (Suryadi, 2010, hlm. 15), yaitu:


1. analisis situasi didaktis sebelum dilakukan pembelajaran yaitu berupa desain didaktis hipotesis;
2. analisis metapedadidaktik;
3. analisis retrospektif yaitu analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktik. Hasilnya akan diperoleh Desain Didaktik Empirik yang tidak tertutup kemungkinan untuk terus disempurnakan melalui tiga tahapan DDR tersebut. 

Gambaran tentang desain didaktis ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:


Gambar 1. Skema DDR

DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNY: Tidak diterbitkan
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Monday, 15 May 2017

[Pendidikan] Kesulitan Belajar (Learning Obstacle)

Oleh: Siti Maryam Rohimah, M.Pd.
*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.

Ahli filsafat sains Bachelard (Manno, 2006, hlm. 31) adalah orang yang pertama kali menggunakan kata “epistemological obstacle” di dalam bukunya yang berjudul “La formazione dello spirito scientifico” pada tahun 1938. Bachelard memperkenalkannya dengan kata-kata berikut:

We have to think about scientific knowledge in terms of obstacle. We are not talking about external obstacles such as the non lasting character of the phenomenon or their complexity, nor to think that it is weakness of meanings or of human spirit’s fault; is the only and simple act of knowing that brings troubles and unbalance within. Is there, where we go slow and back, is there where we find epistemological obstacles” (Manno, 2006, hlm. 32)

Bachelard mengelompokkan physics’ science obstacles sebagai berikut:
1. obstacles we know by experience
2. obstacles of general knowledge
3. verbal obstacles
4. obstacles of not authorized use
5. obstacles of familiar images
6. obstacles of unity knowledge
7. obstacles of pragmatic knowledge
8. realistic obstacles
9. soul obstacles
10. quantity knowledge obstacles 

Cornu (Moru, 2006, hlm. 13) membedakan obstacles menjadi empat jenis, yaitu cognitive obstacles, genetic dan psychological obstacle, didactical obstacle, dan epistemological obstacles. Menurut Conru, cognitive obstacles terjadi apabila siswa menemukan kesulitan dalam proses pembelajaran. Genetic and psychological obstacle terjadi pada hasil dari perkembangan personal siswa. Didactical obstacle terjadi karena pembelajaran yang diberikan guru dan epistemological obstacles terjadi karena sifat dari konsep matematika yang dimiliki siswa.

Menurut Brosseau, cognitive obstacle masuk pada ontogenic, didactic, dan epistemological. Hal ini menunjukkan adanya overlap diantara beberapa obstacle tersebut. Oleh karena itu, Brousseau (2002, hlm. 86) membagi learning obstacles menjadi tiga jenis, yaitu: 
1. ontogenic obstacle, yaitu ketidaksesuaian antara pembelajaran atau desain didaktis yang diberikan tidak sesuai dengan tingkat berfikir siswa. Sehingga memunculkan kesulitan dalam proses pemahaman materi. Jika level yang diterima siswa terlalu rendah maka siswa tidak akan mengalami proses belajar yang sesungguhnya, sebaliknya jika level yang diterima siswa terlalu tinggi, maka siswa akan mengalami kesulitan bahkan tidak menyenangi matematika karna sulit. 
2. epistemological obstacle, yaitu kesulitan pada proses pembelajaran yang terjadi akibat dari keterbatasan konteks yang siswa ketahui. Dalam hal ini siswa hanya menerima pemahaman konsep secara parsial, sehingga ketika dihadapkan pada konteks yang berbeda siswa mengalami kesulitan dalam menggunakannya. 
3. didactical obstacle, yaitu kesulitan yang terjadi akibat pembelajaran yang dilakukan guru.

DAFTAR PUSTAKA
Manno, G. (2006). Embodiment and A-Didactical Situation in The Teaching-Learning of The Perpendicular Straigth Lines Concept. Doctoral Thesis: Department of Didactic Mathematics Faculty of Mathematics and Physics Comenius University Bratislava.

Moru, E. K. (2006). Epistemological Obstacles in Coming to Understand the Limit Concept at Undergraduate Level: A Case of the National University of Lesotho. Doctoral Thesis: School of Science and Mathematics Education in the Faculty of Education University of the Western Cape.

Brouseau, G. (2002). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

[Pendidikan] Learning Trajectory (Lintasan Belajar)

Oleh: Siti Maryam Rohimah, M.Pd.
*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.

Menurut teori kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif, untuk menerima, mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Menurut teori kognnitif Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Mempelajari matematika sangat penting untuk memajukan daya pikir manusia. Lintasan belajar adalah proses dimana siswa mempelajari dan memahami matematika. Lintasan belajar menggambarkan tujuan pembelajaran, proses belajar dan berpikir anak pada berbagai macam level, dan aktivitas pembelajaran yang menarik bagi mereka.

Learning trajectory adalah gambaran pemikiran siswa saat proses pembelajaran berupa dugaan dan hipotesis dari serangkaian desain pembelajaran untuk mendorong perkembangan berpikir siswa agar tujuan pembelajaran matematika sesuai dengan yang diharapkan (Clements & Sarama, 2004, hlm. 83). Berdasarkan penelitian Clements & Sarama (2007, hlm. 140) mengembangkan pembagian learning trajectory, yaitu:
1. tujuan pembelajaran matematika,
2. perkembangan kemajuan anak dalam mencapai tujuan tersebut, dan
3. perangkat aktivitas yang sesuai dengan masing-masing level anak.

Berdasarkan hal tersebut, learning trajectory dibedakan menjadi dua jenis, yaitu learning trajectory fungsional dan learning trajectory struktural. Learning trajectory fungsional berhubungan dengan tujuan pembelajaran siswa yang erat kaitannya dengan proses abstraksi. Learning trajectory struktural hubungannya dengan urutan pembelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tahapan proses berpikirnya. 


DAFTAR PUSTAKA
Clements, D. H., & Sarama, J. (2004). Learning Trajectory in Mathematics Education. Mathematical Thinking and Learning, 6, 81-89.

Clements, D. H., & Sarama, J. (2007). Effects of a Preschool Mathematics Curriculum: Summative Research on the Building Blocks Project. Journal for Research in Mathematics Education. Vol. 38, No. 2, 136-163. 
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

[Pendidikan] Abstraksi Pembelajaran

Oleh: Siti Maryam Rohimah, M.Pd.
*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.

Menurut Jonson dan Rising (Jihad, 2006, hlm. 96), matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat dengan simbul yang padat, lebih berupa bahasa simbul mengenai arti daripada bunyi. Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak semua objek abstrak adalah matematika. Herskowitz, et al (Mitchelmore & White, 2004, hlm. 329) mendefinisikan abstraksi sebagai suatu aktivitas reorganisasi vertikal pada konsep matematika yang telah dikonstruksi sebelumnya melalui sebuah struktur matematika baru. Objek-objek baru tersebut dikonstruksi melalui pembentukan sedemikian sehingga menemukan generalisasi, bukti, atau strategi baru pada pemecahan masalah.

Hasil abstraksi terdiri atas himpunan semua objek yang mempunyai sifat dan hubungan penting sehingga abstraksi merupakan sebuah dekontekstualisasi. Proses ini linier, berawal dari objek-objek sederhana menuju struktur objek pada level yang lebih tinggi. Mitchelmore dan White (2007, hlm. 3) membedakan abstraksi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Abstraksi Empiris
Abstraksi empiris menurut Piaget didasarkan pada pengalaman sosial dan fisik anak. Pada abstraksi empiris, pembentukan pengertian tentang suatu objek yang abstak berasal dari pengalaman empiris seseorang. Abstraksi empiris memiliki fokus terhadap tampilan-tampilan umum, sehingga konsep yang dihasilkan abstraksi empiris disebut juga sebagai konsep abstrak umum.

2. Abstraksi Teoritis 
Abstraksi teoritis terdiri atas pembentukan konsep-konsep untuk disesuaikan dengan beberapa teori. Pada abstraksi teoritis konsep baru dibentuk dari percobaan konsep melalui pengalaman-pengalaman yang sudah terbentuk dan tersimpan dahulu dalam pemikiran seseorang.   


DAFTAR PUSTAKA
Jihad, A. (2006). Pengembangan Kurikulum Matematika. Yogyakarta: PT Sakti Jaya.

Mitchelmore, M., & White, P. (2004). Abstraction in Mathematics and Mathematics Learning. M. J. Hoines & A. B. Fuglestad (Eds.), Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol. 3, pp. 329-336). Bergen, Norway: Psychology of Mathematics Education.

Mitchelmore, M., & White, P. (2007). Abstraction in Mathematics Learning (Editorial). Mathematics Education Research Journal, Vol. 19, No. 2, 1-9.
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

[Pendidikan Matematika] Pembelajaran Matematika

Oleh: Siti Maryam Rohimah, M.Pd.
*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.

Menurut Sudjana (2010, hlm. 5), belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Hasil dari perubahan proses belajar tersebut dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek lain yang ada pada individu belajar. Dengan demikian, belajar pada dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pemahaman terhadap pembelajaran tersebut.

Pengertian belajar menurut Fontana (Suherman, 2003, hlm. 7) adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman, sedangkan pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi suasana agar proses belajar berkembang secara optimal. Oleh karena itu, proses belajar bersifat internal dan unik dalam diri individu siswa, sedangkan proses pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja direncanakan dan bersifat rekayasa perilaku.

Salah satu mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik yaitu matematika. Menurut Ruseffendi (2006, hlm. 260), matematika adalah salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Matematika ada karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran, sedangkan menurut BSNP (2006, hlm. 345), matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern yang mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.


Fungsi mata pelajaran matematika (Suherman, 2003, hlm. 56) adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Pertama, fungsi matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi, misalnya melalui persamaan-persamaan atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal uraian matematika lainnya. Kedua, fungsi matematika untuk membentuk pola pikir dalam pemahaman maupun dalam penalaran suatu hubungan antar konsep-konsep matematika. Fungsi matematika yang ketiga adalah sebagai ilmu atau pengetahuan yang tentunya berperan penting dalam pengembangan pengetahuan siswa.

DAFTAR PUSTAKA
BSNP. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMP-MTs. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-eksakta Lainnya. Tarsito: Bandung

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sudjana, N. (2010). Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: FPMIPA UPI.
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Thursday, 13 April 2017

[Pendidikan] Tenang Saja, karena Hasil Tak akan Pernah Mengkhianati Usaha

Buat yang selama ini terus-terusan belajar agar menjadi yang terbaik,
Buat yang selama ini terus berkorban PDKT-an agar bisa jadian,
Buat yang selama ini menghabiskan waktu untuk melakukan apa yang dicintai,

Jangan menyerah dan jangan putus asa.
Tenang saja, karena HASIL tak akan pernah menggkhianati USAHA.

#Quote
#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre


Jangan lupa ikuti kami:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...

Wednesday, 5 April 2017

[Pendidikan] Guru Boleh Salah, Tapi Enggak Boleh Bohong

"Guru boleh salah, tapi enggak boleh bohong". Begitulah cara kerja guru dalam mendidik.

Tapi sayangnya, karena gengsi dan harga diri, beberapa guru ada yang tidak mau mengakui kalau mereka salah atau tidak tahu. Biasakanlah ....

#Guru
#Quote
#SebarkanPencerahan
#ROFAEducationCentre


Jangan lupa ikuti kami:
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
loading...
loading...