*) Ditulis sebagai bahan tesis S2 UPI dengan judul "Pengembangan Desain Didaktis untuk Mengatasi Learning Obstacles Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel pada Siswa Kelas VII SMP."
**) Hanya diizinkan untuk melakukan kutipan tidak langsung pada artikel ini.
Theory of Didactical Situation (TDS) dicetuskan oleh Brousseau pada tahun 1986 dan dikembangkan oleh beberapa peneliti pada tahun 1970-an (Artigue, 1994, hlm. 27). TDS adalah bagian dasar dalam pendekatan konstuktivisme, yang pada prinsipnya bahwa pengetahuan dan perilaku siswa hanya dapat dipahami jika perilaku tersebut berkaitan erat dengan situasi dimana ia diamati dan potensi kognitifnya harus dapat dicirikan oleh realitias yang diamati (Artigue, 1994, hlm. 29). Didaktis matematika terintegrasi dalam TDS yang terinspirasi dari teori permainan matematika, untuk menyelidiki dengan cara ilmiah, masalah yang berhubungan dengan pembelajaran matematika dan cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika (Radford, 2008, hlm. 5).
Menurut Brousseau, istilah “situasi” digunakan untuk menyebut lingkungan siswa yang ditangani oleh guru sebagai alat dalam proses pembelajaran. Kemudian istilah situasi mengalami perluasan makna meliputi guru itu sendiri dan sistem pendidikannya (Radford, 2008, hlm. 5). TDS digunakan dalam situasi didaktis yang dirancang dan digunakan dalam proses belajar mengajar. Dalam situasi didaktis siswa membangun pengetahuannya sendiri, bukan karena ia diajarkan tetapi karena logika yang ia temukan sendiri melalui situasi baru yang mendorongnya kepada suatu pemahaman.
Seperti teori lainnya, TDS berlandaskan pada seperangkat prinsip, diantaranya yang bersifat epistemologi seperti mengenai hasil pengetahuan sebagai solusi optimal untuk situasi atau masalah tertentu dan pembelajaran adalah salah satu bentuk adaptasi kognitif sesuai dengan teori kognitif Piaget (Radford, 2008, hlm. 6). Prinsip-prinsip tersebut menjelaskan peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Pada TDS, peran penting dari seorang guru bukan untuk menunjukkan kepada siswa bagaimana caranya untuk memecahkan masalah, melainkan membiarkan siswa menangani masalah mereka sendiri, untuk memecahkan masalah matematika tidak hanya menerima (masalah), belajar, dan mengerjakan (masalah itu) dengan benar, sesuai dengan kaidah matematika (Brousseau, 2002, hlm. 15). Seperti kontruktivisme, TDS menentang pembelajaran langsung. Peran guru adalah untuk lebih mengetahui masalah atau situasi yang akan diberikan kepada siswa dan memancing pembelajaran yang diharapkan.
Didaktis adalah sesuatu yang menjadi penekanan dalam pembelajaran sejak tahap perencanaan pembelajaran. Analisis didaktis sebelum pembelajaran, difokuskan pada hubungan tiga serangkai antara guru, siswa, dan materi sehingga dapat menjadi arahan dalam pelaksanaan pembelajaran. Hasil analisis didaktis digunakan untuk proses pembuatan rancangan atau desain. Menurut teori Brousseu, tindakan didaktis seorang guru yang dilakukan dalam proses pembelajaran akan menciptakan sebuah situasi yang dapat menjadi titik awal bagi terjadinya proses belajar (Suryadi, 2010, hlm. 7). Namun situasi tersebut tidak menjamin tercipta proses belajar, sehingga guru harus mengkondisikan situasi ini misalnya dengan teknik scaffolding yang dapat memunculkan tanggapan siswa sehingga terjadi situasi yang baru. Situasi yang baru ini biasa tunggal atau beragam bergantung pada setting (milieu) aktivitas belajar yang dirancang guru.
Setiap pengetahuan yang ditanamkan pada siswa harus berasal dari adaptasi siswa tersebut terhadap situasi tertentu (Brousseau, 2002, hlm. 23). Pada tahap adaptasi tersebut terdapat adidactical situation, yaitu situasi dimana siswa belajar sendiri tanpa intervensi guru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Selain itu, siswa harus dapat beradaptasi dengan lingkungan belajar, dengan teman sekelas, dan dengan setting (milieu) aktivitas belajar yang dirancang guru. Selanjutnya setelah siswa mampu beradaptasi, terjadi situasi yang dinamakan akulturasi. Pada tahap akulturasi, siswa memasuki tahap berpikir tingkat tinggi sehingga memerlukan intervensi guru yang terstruktur yang dinamakan dengan didactical situation. Pada situasi ini muncul didactical contract yang memberikan konstribusi terhadap aturan-aturan untuk mendorong siswa lebih mandiri.
Perrin-Glorian (dalam Radford, 2008, hlm 8) menggambarkan kompleksitas situasi didaktis sebagai berikut:
Selain situasi didaktis, hubungan antara guru dan siswa juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada proses pembelajaran yang dinamakan situasi pedagogis (Suryadi, 2010, hlm. 8). Terdapat dua aspek dasar dalam pembelajaran matematika, yaitu hubungan didaktis (HD) dan hubungan pedagogis (HP). HD yaitu hubungan antara siswa dengan materi dan HP yaitu hubungan siswa dengan guru. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam segitiga didaktis yang dikembangkan oleh Kansanen (Suryadi, 2010, hlm. 8) sebagai berikut:
Ilustrasi segitiga didaktis Kansanen tersebut menurut Suryadi (2010, hlm. 8), belum memuat hubungan guru-materi dalam konteks pembelajaran disebabkan hubungan didaktis dan pedagogis tidak bisa dipandang secara parsial, tetapi perlu dipahami secara utuh karena pada kenyataannya kedua hubungan tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Dalam hal ini, pada saat guru merancang sebuah situasi didaktis, perlu memikirkan prediksi respons siswa atas situasi tersebut serta antisipasinya sehingga tercipta situasi didaktis baru. Antisipasi tersebut tidak hanya menyangkut hubungan siswa-materi, tetapi juga hubungan guru-siswa, baik secara individu maupun kelompok atau kelas. Atas dasar hal tersebut, pada segitiga didaktis Kansanen perlu ditambahkan suatu hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya bisa disebut sebagai Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) sebagaimana diilustrasikan pada gambar segitiga didaktis Kansanen (Suryadi, 2010, hlm. 8) yang dimodifikasi berikut ini.
Segitiga didaktis tersebut menunjukkan bahwa guru berperan untuk menciptakan situasi didaktis (didactical situation), sehingga terjadi proses belajar pada setiap siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang guru harus benar-benar menguasai materi ajar dan memiliki pengetahuan lain yang terkait dengan siswa, serta mampu menciptakan situasi didaktis untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal. Kemampuan yang perlu dimiliki guru tersebut selanjutnya akan disebut sebagai metapedadidaktik.
Menurut Suryadi (2010, hlm. 12), metapedadidaktik adalah kemampuan guru untuk:
Metapedadidaktik (Suryadi, 2010, hlm. 12) terdiri dari tiga komponen, yaitu kesatuan, fleksibilitas, dan koherensi. Pertama adalah komponen kesatuan berkenaan dengan kemampuan guru untuk memandang hubungan didaktis dan pedagogis sebagai sesuatu yang utuh dan saling berkaitan erat. Kedua adalah fleksibilitas, yang berarti bahwa antisipasi yang sudah disiapkan oleh guru disesuaikan dengan didaktis dan pedagogis. Ketiga adalah koherensi, yaitu adanya ikatan dari semua situasi didaktis yang diciptakan guru sehingga perubahan situasi selama proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan mengarah pada pencapaian tujuan.
Ilustrasi metapedadidaktik yang digambarkan sebagai sebuah limas dengan posisi guru berada di puncak, karena memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodifikasi (Suryadi, D., & Turmudi, hlm. 8) sebagai berikut:
Toom (Suryadi, 2010) menjelaskan bahwa proses berpikir didaktis dan pedagogis dapat terjadi dalam tiga peristiwa, yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran, dan setelah pembelajaran. Sebuah pengetahuan yang berharga sebagai bahan refleksi untuk perbaikan kualitas pembelajaran berikutnya yang disebut dengan tacit pedagogical knowledge. Jika sebelum pembelajaran (antisipasi didaktis dan pedagogis) seorang guru mampu mengidentifikasi, menganalisis, serta mengaitkan proses berpikir, pada saat pembelajaran memperoleh tacit knowledge, dan setelah pembelajaran melakukan refleksi, hal tersebut akan menjadi suatu strategi yang baik untuk melakukan pengembangan diri, sehingga kualitas pembelajaran dari waktu ke waktu senantiasa dapat ditingkatkan.
Efektivitas dari situasi didaktis adalah siswa memiliki tanggung jawab yang diberikan guru untuk memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalahnya, siswa diberi kebebasan membangun pengetahuan mereka sendiri. Brousseau (2002, hlm. 8) mengidentifikasi tiga jenis situasi yaitu aksi, formulasi dan validasi.
1. Aksi
Pada situasi aksi, siswa mengembangkan strategi sendiri untuk menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan guru. Siswa mulai membuat keputusan untuk menentukan bagaimana proses penyelesaian dan strategi yang dipakai untuk memecahkan masalah. Interaksi antara murid dan lingkuangannya (siswa lain, konteks masalah, guru) berguna untuk membuat beberapa strategi pertama yang disebut “dialectic of action”. Pada tahap ini, siswa membangun model dengan seperangkat aturan dan hubungan untuk mengambil suatu keputusan baru tanpa disadari atau perlu diungkapkan secara eksplisit (Manno, 2006, hlm 25).
2. Formulasi
Tahap ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan model sendiri, secara implisit untuk mengungkapkan strategi dengan kata-kata yang dapat dipahami oleh siswa lain, membahas, dan beragumen yang membuat siswa lain menerima penjelasannya. Komunikasi dua arah antarsiswa membawa mereka ke suatu strategi (Manno, 2006, hlm. 25).
3. Validasi
Pada tahap ini guru menuntun siswa pada situasi didaktis melalui suatu proses untuk memastikan bahwa mereka menggunakan strategi yang tepat. Dengan cara ini kesalahan merupakan titik awal dalam proses mengonstruksi pengetahuan. Pada bagian ini, guru dapat mempengaruhi siswa, karena siswa memerlukan penyelesaian masalah yang benar dan penjelasan tentang teori atau arti lain dari strategi yang telah mereka gunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut (Manno, 2006, hlm. 25).
4. Institusionalisasi
Institusionalisasi pada dasarnya adalah proses yang memungkinkan siswa mengubah pengetahuan mereka sebelumnya menjadi pengetahuan baru melalui penguatan oleh guru yang memberi mereka nilai kebenaran dan memungkinkan untuk menggunakan pengetahuan baru yang diperoleh untuk memecahkan masalah.
Menurut Brousseau, istilah “situasi” digunakan untuk menyebut lingkungan siswa yang ditangani oleh guru sebagai alat dalam proses pembelajaran. Kemudian istilah situasi mengalami perluasan makna meliputi guru itu sendiri dan sistem pendidikannya (Radford, 2008, hlm. 5). TDS digunakan dalam situasi didaktis yang dirancang dan digunakan dalam proses belajar mengajar. Dalam situasi didaktis siswa membangun pengetahuannya sendiri, bukan karena ia diajarkan tetapi karena logika yang ia temukan sendiri melalui situasi baru yang mendorongnya kepada suatu pemahaman.
Seperti teori lainnya, TDS berlandaskan pada seperangkat prinsip, diantaranya yang bersifat epistemologi seperti mengenai hasil pengetahuan sebagai solusi optimal untuk situasi atau masalah tertentu dan pembelajaran adalah salah satu bentuk adaptasi kognitif sesuai dengan teori kognitif Piaget (Radford, 2008, hlm. 6). Prinsip-prinsip tersebut menjelaskan peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Pada TDS, peran penting dari seorang guru bukan untuk menunjukkan kepada siswa bagaimana caranya untuk memecahkan masalah, melainkan membiarkan siswa menangani masalah mereka sendiri, untuk memecahkan masalah matematika tidak hanya menerima (masalah), belajar, dan mengerjakan (masalah itu) dengan benar, sesuai dengan kaidah matematika (Brousseau, 2002, hlm. 15). Seperti kontruktivisme, TDS menentang pembelajaran langsung. Peran guru adalah untuk lebih mengetahui masalah atau situasi yang akan diberikan kepada siswa dan memancing pembelajaran yang diharapkan.
Didaktis adalah sesuatu yang menjadi penekanan dalam pembelajaran sejak tahap perencanaan pembelajaran. Analisis didaktis sebelum pembelajaran, difokuskan pada hubungan tiga serangkai antara guru, siswa, dan materi sehingga dapat menjadi arahan dalam pelaksanaan pembelajaran. Hasil analisis didaktis digunakan untuk proses pembuatan rancangan atau desain. Menurut teori Brousseu, tindakan didaktis seorang guru yang dilakukan dalam proses pembelajaran akan menciptakan sebuah situasi yang dapat menjadi titik awal bagi terjadinya proses belajar (Suryadi, 2010, hlm. 7). Namun situasi tersebut tidak menjamin tercipta proses belajar, sehingga guru harus mengkondisikan situasi ini misalnya dengan teknik scaffolding yang dapat memunculkan tanggapan siswa sehingga terjadi situasi yang baru. Situasi yang baru ini biasa tunggal atau beragam bergantung pada setting (milieu) aktivitas belajar yang dirancang guru.
Setiap pengetahuan yang ditanamkan pada siswa harus berasal dari adaptasi siswa tersebut terhadap situasi tertentu (Brousseau, 2002, hlm. 23). Pada tahap adaptasi tersebut terdapat adidactical situation, yaitu situasi dimana siswa belajar sendiri tanpa intervensi guru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Selain itu, siswa harus dapat beradaptasi dengan lingkungan belajar, dengan teman sekelas, dan dengan setting (milieu) aktivitas belajar yang dirancang guru. Selanjutnya setelah siswa mampu beradaptasi, terjadi situasi yang dinamakan akulturasi. Pada tahap akulturasi, siswa memasuki tahap berpikir tingkat tinggi sehingga memerlukan intervensi guru yang terstruktur yang dinamakan dengan didactical situation. Pada situasi ini muncul didactical contract yang memberikan konstribusi terhadap aturan-aturan untuk mendorong siswa lebih mandiri.
Perrin-Glorian (dalam Radford, 2008, hlm 8) menggambarkan kompleksitas situasi didaktis sebagai berikut:
Gambar 1. Diagram Empat Kutub dari Komponen Dasar Situasi Didaktis
Selain situasi didaktis, hubungan antara guru dan siswa juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada proses pembelajaran yang dinamakan situasi pedagogis (Suryadi, 2010, hlm. 8). Terdapat dua aspek dasar dalam pembelajaran matematika, yaitu hubungan didaktis (HD) dan hubungan pedagogis (HP). HD yaitu hubungan antara siswa dengan materi dan HP yaitu hubungan siswa dengan guru. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam segitiga didaktis yang dikembangkan oleh Kansanen (Suryadi, 2010, hlm. 8) sebagai berikut:
Gambar 2. Segitiga Didaktis Kansanen
Ilustrasi segitiga didaktis Kansanen tersebut menurut Suryadi (2010, hlm. 8), belum memuat hubungan guru-materi dalam konteks pembelajaran disebabkan hubungan didaktis dan pedagogis tidak bisa dipandang secara parsial, tetapi perlu dipahami secara utuh karena pada kenyataannya kedua hubungan tersebut dapat terjadi secara bersamaan. Dalam hal ini, pada saat guru merancang sebuah situasi didaktis, perlu memikirkan prediksi respons siswa atas situasi tersebut serta antisipasinya sehingga tercipta situasi didaktis baru. Antisipasi tersebut tidak hanya menyangkut hubungan siswa-materi, tetapi juga hubungan guru-siswa, baik secara individu maupun kelompok atau kelas. Atas dasar hal tersebut, pada segitiga didaktis Kansanen perlu ditambahkan suatu hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya bisa disebut sebagai Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) sebagaimana diilustrasikan pada gambar segitiga didaktis Kansanen (Suryadi, 2010, hlm. 8) yang dimodifikasi berikut ini.
Gambar 3. Segitiga Didaktis yang Dimodifikasi
Menurut Suryadi (2010, hlm. 12), metapedadidaktik adalah kemampuan guru untuk:
1. memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi, yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh;
2. mengembangkan tindakan sehingga tercipta, situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai kebutuhan;
3. mengidentifikasi serta menganalisis respons siswa atau mahasiswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan;
4. melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respons siswa atau mahasiswa menuju pencapaian target pembelajaran.
Metapedadidaktik (Suryadi, 2010, hlm. 12) terdiri dari tiga komponen, yaitu kesatuan, fleksibilitas, dan koherensi. Pertama adalah komponen kesatuan berkenaan dengan kemampuan guru untuk memandang hubungan didaktis dan pedagogis sebagai sesuatu yang utuh dan saling berkaitan erat. Kedua adalah fleksibilitas, yang berarti bahwa antisipasi yang sudah disiapkan oleh guru disesuaikan dengan didaktis dan pedagogis. Ketiga adalah koherensi, yaitu adanya ikatan dari semua situasi didaktis yang diciptakan guru sehingga perubahan situasi selama proses pembelajaran berjalan dengan lancar dan mengarah pada pencapaian tujuan.
Ilustrasi metapedadidaktik yang digambarkan sebagai sebuah limas dengan posisi guru berada di puncak, karena memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dimodifikasi (Suryadi, D., & Turmudi, hlm. 8) sebagai berikut:
Gambar 4. Metapedadidaktik dilihat dari ADP, HD, dan HP
Efektivitas dari situasi didaktis adalah siswa memiliki tanggung jawab yang diberikan guru untuk memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalahnya, siswa diberi kebebasan membangun pengetahuan mereka sendiri. Brousseau (2002, hlm. 8) mengidentifikasi tiga jenis situasi yaitu aksi, formulasi dan validasi.
1. Aksi
Gambar 5. Situasi pada tahap aksi
Pada situasi aksi, siswa mengembangkan strategi sendiri untuk menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan guru. Siswa mulai membuat keputusan untuk menentukan bagaimana proses penyelesaian dan strategi yang dipakai untuk memecahkan masalah. Interaksi antara murid dan lingkuangannya (siswa lain, konteks masalah, guru) berguna untuk membuat beberapa strategi pertama yang disebut “dialectic of action”. Pada tahap ini, siswa membangun model dengan seperangkat aturan dan hubungan untuk mengambil suatu keputusan baru tanpa disadari atau perlu diungkapkan secara eksplisit (Manno, 2006, hlm 25).
2. Formulasi
Gambar 6. Situasi pada tahap formulasi
Tahap ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan model sendiri, secara implisit untuk mengungkapkan strategi dengan kata-kata yang dapat dipahami oleh siswa lain, membahas, dan beragumen yang membuat siswa lain menerima penjelasannya. Komunikasi dua arah antarsiswa membawa mereka ke suatu strategi (Manno, 2006, hlm. 25).
3. Validasi
Pada tahap ini guru menuntun siswa pada situasi didaktis melalui suatu proses untuk memastikan bahwa mereka menggunakan strategi yang tepat. Dengan cara ini kesalahan merupakan titik awal dalam proses mengonstruksi pengetahuan. Pada bagian ini, guru dapat mempengaruhi siswa, karena siswa memerlukan penyelesaian masalah yang benar dan penjelasan tentang teori atau arti lain dari strategi yang telah mereka gunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut (Manno, 2006, hlm. 25).
4. Institusionalisasi
Institusionalisasi pada dasarnya adalah proses yang memungkinkan siswa mengubah pengetahuan mereka sebelumnya menjadi pengetahuan baru melalui penguatan oleh guru yang memberi mereka nilai kebenaran dan memungkinkan untuk menggunakan pengetahuan baru yang diperoleh untuk memecahkan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Artigue, M. (1994). Didactical Engineering as a Framework for the Conception of Teaching Products. R. Biehler, R. W. Scholtz, R. Sträßer, & B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp. 27–39). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.
Brouseau, G. (2002). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Manno, G. (2006). Embodiment and A-Didactical Situation in The Teaching-Learning of The Perpendicular Straigth Lines Concept. Doctoral Thesis: Department of Didactic Mathematics Faculty of Mathematics and Physics Comenius University Bratislava.
Radford, L. (2008). Theories in Mathematics Education: A Brief Inquiry into their Conceptual Differences. Working Paper. Prepared for the ICMI Survey Team 7. The Nation an Role of Theory in Mathematics Education Research.
Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNY: Tidak diterbitkan.
Suryadi, D., & Turmudi. (2011). Kesetaraan Didactical Design Research (DDR) dengan Matematika Realistik dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika. Makalah pada Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS.
Brouseau, G. (2002). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Manno, G. (2006). Embodiment and A-Didactical Situation in The Teaching-Learning of The Perpendicular Straigth Lines Concept. Doctoral Thesis: Department of Didactic Mathematics Faculty of Mathematics and Physics Comenius University Bratislava.
Radford, L. (2008). Theories in Mathematics Education: A Brief Inquiry into their Conceptual Differences. Working Paper. Prepared for the ICMI Survey Team 7. The Nation an Role of Theory in Mathematics Education Research.
Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNY: Tidak diterbitkan.
Suryadi, D., & Turmudi. (2011). Kesetaraan Didactical Design Research (DDR) dengan Matematika Realistik dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika. Makalah pada Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS.
Jika kalian merasa postingan kami bermanfaat, silakan ikuti kami di:
Instagram: @rofaeducationcentre
Fanspage FB: @ROFAEducationCentre
Youtube Chanel: ROFA EDUCATION CENTRE
Website: www.rofaeducationcentre.com
loading...
loading...
0 komentar:
Post a Comment